Surat Misterius

 

Surat Misterius

Selembar surat bertulisan tangan yang rapih, entah siapa yang dengan sengaja menempelkannya di depan pintu kamar kost Semesta, "berhenti mengusik kehidupan Ale, jika tidak, aku tidak akan segan-segan mempersingkat hidupmu!" kening Semesta mengernyit ketika membaca isi pesan itu, "terlalu sandiwara, jika berani, mengapa tidak menemuiku langsung, bangsat," ucap Semesta membatin. Semesta segera mengambil surat itu lalu memasukkannya ke dalam ransel, berjalan seperti biasanya menuju tempat motornya terparkir sambil kepikiran dengan orang misterius yang telah berani megancamnya. 


Selamat Datang di Perguruan Baju Hitam, hanya perlu sekitar 15-20 menit waktu yang ditempuh untuk tiba di markas pelatihan yang dibuat Semesta sejak satu tahun yang lalu. "Selamat pagi sensei," ucap serentak ketiga murid laki-laki terbaiknya, Rian, Rain, Fadil, sambil membungkukkan badan,  "pagi, bagaimana keadaan hari ini, apa semuanya baik-baik saja?" tanya Semesta sambil melihat sekeliling. Sengaja ia menanyakan hal tersebut sebab ingin mengaitkan dengan surat yang diterimanya. "Aman seperti biasa sensei, tidak ada yang aneh sejak tadi," ucap Rian dengan serius. Semesta segera merogoh kantong celana jeans lalu mengeluarkan rokoknya. 


Menyulutnya lalu menghisap dan menghembuskannya berulang kali dengan volume yang tidak seperti biasanya, baru sekali ini Semesta mengalami hal yang sangat mengusik pikirannya. Lagian mengapa harus melibatkan Ale, apa mungkin pelakunya adalah seorang laki-laki yang manaruh rasa kepada Ale? "Sial," lirih Semesta dalam hati. Mereka berempat masih berdiri di luar ruangan, sejenak tidak ada percakapan yang terjadi, ketiga muridnya sesekali saling melirik seolah menyadari bahwa ada yang aneh dari Semesta yang tidak seperti biasanya. 


"Hmm, rokokta dulu sensei," pinta Fadil sambil menggaruk-garukkan jari ke kepalanya yang juga terlihat sedikit meringis sebab berusaha mengimbangi rasa was-wasnya. Meskipun mereka semua sudah saling akrab layaknya sodara, namun tetap saja kesadaran posisi sebagai murid dan guru tetap melekat dan menjadi moralitas kemelekatan, dan itu sudah menjadi ketetapan. "Huff, maaf ya, ini, sambil melemparkannya kearah Fadil menggunakan tangan kiri dan disusul korek," "Maaf sensei, apa ada yang aneh hari ini?" Tanya Fadil setelah menyalakan rokoknya. "Iya, sepertinya hari ini terlihat seolah ada masalah?" cerotos Rain yang tiba-tiba, sedangkan Rian terlihat hanya mengangguk seolah juga menyadari ketidak beresan Senseinya hari ini. 


Semesta tidak langsung menjawab pertanyaan dari muridnya, ia hanya memperhatikan ketiganya sambil menghisap rokok, dengan tatapan kosong tentunya. Tampak Fadil, Rian dan Rain tentu semakin bingung dengan sikap Semesta yang memang berbeda 180 derajat. Seolah masalah yang dihadapinya begitu serius, dada ketiga muridnya mulai semakin berdetak tidak karuan, pikiran mereka kacau liar menduga-duga. Tiba-tiba, takkk!... Sontak mereka berempat berdiri dan memalingkan pandangan kearah sumber suara, berlari menghampiri, terlihat kaca bangunan markas mereka pecah disebabkan oleh benda tumpul. "Permainan baru akan kita mulai," tulisan pada carik kertas yang diikut sertakan pada benda tumpul yang digunakan pelempar misterius itu. 


Anjing! Teriak Rian sangat murka

Bangsat! Teriak Rain sambil melemparkan pandangan ke arah jalan pusat. Terlihat Semesta masih menatap tulisan pada kertas itu, dalam hati ia berkata, sebenarnya siapa dalang di balik peristiwa ini? Fadil, ia hanya bersikap seolah tidak menganggap bahwa peristiwa barusan adalah sesuatu yang serius, ekspresinya datar saja sambil tetap menikmati tarik hembusan rokoknya. Setelah membersihkan serpihan kaca, mereka memilih untuk duduk di payung idealis, tempat nongkrong yang sengaja dibuat depan base camp Perguruan Baju Hitam, dengan tujuan biar lebih nyaman saja saat bersantai untuk ngopi dan ngobrol. "Hubungi teman-teman yang lain, suruh agar mereka segera merapat," pinta Semesta kepada Fadil, "siap sensei."


"Urgen, segera merapat ke base camp Perguruan, ini intruksi langsung dari sensei" Isi pesan dari Fadil yang ditujukan kepada group Tomaka Book Club, yang ternyata semua founder dan folunternya juga merupakan murid dari Perguruan Baju Hitam. Kurang dari satu jam, mereka semua akhirnya berkumpul dengan mengenakan baju hitam, warna kebesaran perguruan mereka. Setiap yang datang akan membungkukkan badan setengah sebagai bentuk penghormatan kepada Semesta selaku guru besar di perguruan Baju Hitam. Setelah menganggap bahwa waktunya untuk angkat bicara, Semesta terlebih dahulu memperhatikan satu persatu muridnya yang hadir. "Aneh, tidak seperti biasanya Khim dan Abil tidak hadir jika ada hal urgent seperti ini, dan seharusnya mereka juga akan memberikan alasan jika mereka memang berhalangan," ucap Semesta membatin sambil menghembuskan nafas panjang. 


Semua yang hadir berjumlah 18 orang, dan tentunya seragam dengan hitam-hitam. "Siapa diantara kalian yang ingin mewakili pembacaan motto perguruan"? pinta Semesta dalam keadaan berdiri diantara lingkaran yang terbuat dari susunan anggota." Biar aku sensei," ucap Musafir sambil tunjuk tangan lalu berdiri. Setelah dipersilahkan, Musafir langsung membacakan. 1. Jujur, beradab, dan setia. 2. Kuat, tangguh, dan disiplin. 3. musuh adalah musuh, tidak ada ampun bagi penghianat. Musafir kembali diminta untuk duduk, terlihat Semesta kembali mengamati seluruh anggotanya. 


Maaf jika aku meminta kalian hadir dengan mendadak, ada sesuatu yang urgent yang harus aku sampaikan selaku pemegang kendali penuh atas perguruan ini. "Ingat, kita adalah petarung, dan kita memiliki harga diri, jika ada yang mengusik, kita harus ratakan tanpa sisa, apa ini jelas," ucap Semesta dengan suara lantang dan tegas. "Siap jelas Sensei," suara serentak terdengar menggema di telinga dan membuat bulu kuduk jadi ngilu. Semesta menambahkan, "hari ini ada yang mencoba mengusik Perguruan kita, jika kita hanya diam saja, itu artinya kita pengecut, dan buat apa Perguruan ini kita pertahankan, jika tidak ada yang bersedia mengungkap siapa pelakunya, biar aku sendiri yang akan menyelesaikannya." 


Fadil terlihat serius mengamati Semesta yang berapi-api, baru kali ini ia melihatnya sangat emosi. Namun entah apa yang dipikirkan Fadil. Sementara itu, keadaan kembali stabil, mereka saling bercakap lepas, ada yang terlihat serius kembali mengangkat topik yang barusan terjadi, ada pula yang serius mendiskusikan hasil bacaan mereka selama sepekan ini. Setelah pamitan, Semesta memilih untuk menuju Alfamart yang tidak jauh dari base camp dengan maksud membelikan sesuatu kepada murid-muridnya. Saat berada di dalam, ia melihat ada lima orang laki-laki mencurigakan yang seolah sedang mengawasinya, berhubung telah mengalami insiden yang mengejutkan hari ini, ia segera menyangkut pautkan dengan kelima orang yang berada di luar sana. 


Sadar dirinya sedang diawasi, Semesta harus siap menghadapi segala macam resiko yang akan dihadapinya. Sedangkan kelima laki-laki itu juga sepertinya telah menyadari bahwa keberadaan mereka telah diketahui. Satu diantara mereka masuk seolah-olah berlagak pembeli, perlahan menghampiri Semesta yang kini berada di bagian belakang dekat toilet, rupanya Semesta sengaja memposisikan diri menjauh dari kasir guna menghindari kejadian yang tidak diinginkan, benar, tanpa basa-basi, laki-laki yang mengenakan  jaket kulit hitam itu langsung melakukan serangan dengan sebilah pisau lipat yang dikeluarkannya dari pinggang, dari serangannya yang dadakan nyaris membuat Semesta mengalami luka fatal dibagian perut, untung saja ia reflek menggeser tubuhnya sekitar sejengkal, menangkap tangan pelaku lalu menguncinya, ya walupun masih tetap mengalami goresan. 


Latihan keras yang selama ini dilakukannya sepertinya tidak sia-sia, Semesta yang berhasil mengunci lawannya segera melumpuhkannya dengan cara memukul bagian leher belakang, meskipun sedikit terdengar suara kegaduhan dan barang-barang yang jatuh, itu tidak membuat kasir sampai melihat pertarungan singkat mereka. Setelah memasukkan pelaku itu ke dalam toilet, Semesta segera merapikan barang-barang yang jatuh itu dengan acak lalu bergegas menyelesaikan transaksi di kasir. Sadar ada yang tidak beres dengan kawannya yang masuk namun tak kunjung kelihatan, satu diantara mereka segera masuk untuk mengecek keberadaan kawannya, sedangkan yang tiga memilih untuk mengamati Semesta yang segera berlalu dengan motornya kembali ke base camp. Rupanya orang-orang itu tidak ingin terlalu gegabah dengan cara membuat keributan dimuka umum. 


"Jika melihat tampang mereka, sepertinya mereka preman bayaran, sial, lagi-lagi harus menghadapi sampah seperti mereka," ujar Semesta membatin sembari memberikan cemilan dan minuman kepada murid-muridnya. Tanpa sepatah kata pun, Semesta berjalan memasuki ruangan dan mengambil benda tumpul andalannya jika harus menghadapi sampah-sampah jalanan seperti yang barusan ia hadapi, diselipkannya di bagian pinggang belakang lalu kembali bergegas pergi tanpa pamit. Seolah tidak ada yang menyadari gerak-gerik Semesta. Setibanya di depan Alfamart, Semesta tidak turun dari motor, mendapati sampah jalanan itu masih berada di lokasi, Semesta berupaya memancing mereka agar mengikutinya, tiga diantaranya terpancing lalu mengejar semesta yang berlalu tidak lewat depan base camp. 


Semesta sengaja memancing mereka ke gang yang sepi, tempat yang memang sangat sunyi, kadang hanya digunakan oleh orang-orang pecandu narkoba dan para remaja penghisap lem untuk menciptakan surga khayalannya. Sedikit melakukan gerakan kecil setelah turun dari motornya, semesta memperhatikan dengan cermat ketiga laki-laki di hadapannya, sepertinya pertarungan akan berlangsung sengit, mengingat setiap dari mereka mengeluarkan senjata tajam. "Tidak usah bertele-tele, langsung sikat saja setelah itu kirimkan foto mayatnya kepada bos, lumayan, harga nyawanya lima belas juta," ujar sirambut gondrong yang diikat kepang kuda. Setelah melakukan gerakan ringan, Semesta mengeluarkan rokok dari saku jaket lepisnya, lalu membakarnya sebagai pertanda bahwa pertarungan akan segera dimulai. 


Satu diantara mereka maju untuk menguji kemampuan tarung Semesta, serangan demi serangan terus dikerahkan berharap dapat melumpuhkan Semesta, setelah kurang lebih sepuluh menit pertarungan, keduanya tidak memiliki luka yang serius, hanya sedikit goresan kecil yang tidak berarti yang masing-masing dialami. Kedua rekannya yang menyaksikan pertarungan menginterupsi agar rekannya mundur memulihkan tenaga. Sedangkan Semesta terlihat begitu tenang, namun sesungguhnya dalam benaknya ia khawatir mengingat lawannya barusan ternyata bukan lawan yang sembarangan, belum lagi mengingat masih ada dua yang harus dihadapi, "biasanya yang maju pertama adalah yang paling lemah, itu artinya yang berdua itu secara otomatis memiliki kemampuan yang lebih, sial" ucap semesta membatin sambil menatap ketiga lawannya. 


Sambil tetap mengamati, semesta berusaha mengulur waktu untuk menyusun strategi, "namun bagaimana jika pada akhir akulah yang kalah," ucapnya membatin sambil mengatur nafas. Handphone milik semesta sedari tadi berbunyi namun diabaikannya, akhirnya ia memutuskan untuk mengeceknya, "apa terjadi sesuatu, kenapa kamu tidak menjawab panggilanku?" setelah membaca pesan itu, Semesta terlihat menarik dan menghembuskan nafas dengan panjang, raut wajahnya seketika berubah, seolah tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang, apakah tetap menghadapi mereka seorang diri, memanggil bantuan dari base camp atau melarikan diri? "Woi, anjing, ingin menyerah saja atau memaksa kami untuk menghabisimu dengan brutal?" 

@semesta55

Tentang Penulis: 

Lahir di Polewali Mandar, pada 5 Mei 1997. Memiliki kesenangan menghabiskan banyak waktu di kamar, menatap angkasa, merenung, berbicara pada binatang, membuat orang-orang jengkel, malas membaca, gak suka nulis, tapi suka sama kamu. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petualangan Pertama, Gandang Dewata

Kopi-Buku-Cinta